Judulnya apa ya

[Saya baru saja membuka lemari lama dan menemukan beberapa keping CD yang berisi foto-foto lama dan tulisan-tulisan lama. Waktu jamannya saya baru mengerti komputer dan internet sekitar kelas 3 SMP, saya mengetik cerita ini. Tak ada judulnya dan isinya bikin saya ketawa sendiri. Dalam rangka apa saya bisa bikin cerita seperti ini. Hihihi.. Silahkan lihat ke absurd-an tulisan saya]

“ Nah, sudah selesai, kamu tampak cantik sekali.” ucap perempuan yang sedari tadi sibuk meriasi wajahnya.
Setelah mengemasi beberapa barang, ia pamit untuk pergi ke ruangan lain melakukan pekerjaannya lagi. Sekarang diruangan kecil itu hanya ada dia, perempuan yang di jam 7 pagi wajahnya sudah penuh dengan riasan. Rambutnya yang panjang sudah ditata dan dihiasi berbagai perhiasan. Ia memilih untuk tidak beranjak. Ia memilih terus memandangi dirinya di depan cermin. Sesekali ia menghela nafas, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup tak secepat biasanya.
“ Wah, kau cantik sekali.”
Sebuah suara membuat jantungnya bahkan berdegup lebih cepat lagi. Pintu ruangan sudah terbuka, dan disana telah berdiri seorang wanita, berpakaian bahkan lebih meriah dari apa yang ia pakai.
“ Ibu membuatku kaget setengah mati.” Ucapnya
Wanita itu tersenyum “ Mempelai pria meminta ibu mengecek apakah kamu sudah siap. Dia sendiri sudah siap, dan menunggumu karena acaranya akan segera dimulai.”
“ Baiklah, aku akan segera keluar.”
“ Apa kau sudah siap nak? Siap menghadapi apapun yang akan terjadi hari ini?”
Ia menghela nafas sejenak, “ Aku akan segera keluar bu.”
Ia kembali mematung setelah wanita itu pergi. Sesekali memandangi pintu dengan wajah cemas. Jika saja diruangan itu tidak ada pendingin ruangan. mungkin keringat sudah bercucuran di seluruh tubuhnya. Pertanyaan-pertanyaan mulai berkecamuk didalam pikirannya.
Apa aku sudah siap? Mengapa pada akhirnya aku melakukan hal ini?
Ia bercermin lagi, kali ini ia memaksa menarik pikirannya ke beberapa waktu lalu, sebelum ia duduk di ruangan itu, berhadapan dengan cermin itu.
Seminggu yang lalu, Putri masih berada di salah satu desa kecil di Jawa Timur. Mengajar, mengurus anak-anak disebuah sekolah dengan seragam mereka yang lusuh, dengan bayaran yang mungkin tidak akan diindahkan oleh kebanyakan orang yang mencari kerja. Sekolah itu merupakan kehidupan barunya selama sebulan terakhir, dan ia tetapkan akan jadi kehidupannya seterusnya.
Dia tak peduli jika Tuhan menganggap pekerjaan ini adalah pelarian, dia tidak peduli jika dianggap lari dari kenyataan. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri, kemudian membangun kehidupannya yang baru, tanpa seseorang.
Putri memutuskan untuk pindah dari ibukota, meninggalkan pekerjaannya disebuah gedung pencakar langit yang nyaman, menyewakan rumahnya kepada orang lain lalu pindah kesebuah desa, tanpa berpamitan kepada banyak orang. Termasuk seorang sahabatnya.
Mereka tidak hanya bersahabat dalam waktu tiga atau empat tahun. Mereka lebih dari itu. Putri bahkan menganggap orang tua sahabatnya juga orang tuanya dan memanggilnya dengan sebutan yang sama. Putri yang sejak kecil sudah menjadi yatim piatu, telah lama menjadikan sahabatnya ini salah satu orang yang paling penting dalam hidupnya.Tempat bercerita, bergantung bahkan tempat berbagi tangisan. Ia pun tahu betapa sahabatnya itu merasakan hal yang sama untuknya.
Mereka bisa menghabiskan waktu semalaman untuk mengobrol, entah lewat telepon ataupun sahabatnya itu menyempatkan diri untuk mampir. Mendengarkan cerita-cerita sahabatnya adalah hal yang tak bisa diganggu. Putri menyukai semua ceritanya termasuk yang kadang menurut sahabatnya adalah cerita omong kosong. Sahabatnya juga satu-satunya pendengar paling baik yang ia punya. Tanpa harus berkata banyak, sahabatnya dapat menunjukan jalan keluar dari semua hal yang ia pertanyakan.
Semuanya baik-baik saja hingga suatu hari ia sadar bahwa sahabatnya inilah orang yang ingin ia jadikan teman untuk menjalani hidup selamanya. Ia sadar ia telah jatuh cinta. Apalagi yang harus ia cari, jika udah memiliki seorang teman yang bisa menemani pikiran-pikiran kita tentang dunia, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan punya pandangan dan yang sama. Jikapun selama ini sahabatnya itu bercerita tentang ketertarikannya terhadap seorang perempuan, bagaimana sahabatnya itu memujanya walau sekalipun tak nampak perempuan itu mengindahkan. Putri tak begitu mempedulikan. Ia percaya diantara mereka ada tali khusus yang mengikat mereka berdua, tali yang tidak diikatkan sahabatnya pada orang lain. Putri hanya perlu menunggu kapan tali itu ditarik sehingga putri bisa tepat berada disisinya.
Pendirian itu tetap ia pegang setidaknya hingga malam itu. Mereka masih berpakaian formal lengkap dengan wajah yang sedikit terlihat lelah selepas bekerja. Sahabatnya itu memintanya menemani pergi ke sebuah pusat perbelanjaan.
“Untuk apa kita ke mall malam-malam begini? Bukannya pekerjaanmu tadi banyak? Memangnya tidak lelah?” tanya Putri
“ Ada yang ingin aku cari. “ ucap sahabatnya seraya fokus mengendalikan mobilnya yang masih melaju.
 “ Dan aku harus ikut?”
“ Aku butuh pendapatmu, tidak ada orang lain lagi yang aku perlukan pendapatnya selain kamu.”
Putri hanya diam dan berusaha menutupi senyumnya. Setelah beberapa lama,  Putri diajak masuk kedalam toko perhiasan yang gemerlap. Sahabatnya itu mengisyaratkan untuk melihat-lihat ketika mereka berhenti di kotak kaca berisi cincin-cincin yang indah.
“ Coba pilihlah yang menurutmu paling bagus, Putri. Pilihkan juga yang kira-kira bagus untukku.”
            Putri merasakan jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Ia bertanya-tanya apa maksudnya ia diminta memilih sebuah cincin. Kemudian ia menunjuk dua buah cincin bersebelahan yang memang dibuat untuk pasangan, warnanya perak dengan beberapa permata kecil diatasnya. Ia lantas menunjukkan kepada sahabatnya itu.
            “ Seleramu memang selalu cocok untukku, Putri.” Sahabatnya itu tersenyum sambil mengamati cincinnya. “ Sederhana tapi nampak manis. Aku akan mengambil yang ini kalau begitu.”
            Kemudian sahabatnya tak berkata apa-apa lagi. Ia sibuk membayar cincin-cincin yang Putri pilih. Setelah selesai, ia mengajak Putri makan malam. Katanya ada yang ingin dia ceritakan.
            “ Kamu pasti bertanya-tanya untuk siapa cincin itu?” ucap sahabatnya dengan isi mulut yang setengah penuh oleh makanan. Putri hanya mengangkat sebelah alis sambil tetap mencoba fokus pada santapan miliknya.
            “ Aku akan berhenti main-main. Aku akan melamar dia segera.”
            Kini fokus Putri berubah ke arah ucapan Sahabatnya, “ Dia Siapa?”
            “ Dia, ya dia, perempuan yang selama ini aku ceritakan. Aku rasa sudah waktunya aku jujur. Aku mantap untuk melamarnya. Aku rasa dia orang yang tepat”
            “ Kamu serius? Tidakkah seharusnya dipikirkan matang-matang?”
            “ Aku sudah memikirkannya beberapa waktu belakangan ini. Selama ini aku mendekatinya untuk menjadikannya sebatas kekasih, sedangkan yang dia tunggu itu laki-laki yang dapat memberinya sesuatu yang pasti. Makanya jarang sekali dia menhiraukanku.”
            Putri masih diam.
“Dari sini aku makin sadar, dia memang orangnya, perempuan yang memang jadi takdirku dengan jalan yang lebih baik. Lalu aku bicara dengan Ibu dan Ayah, dan mereka mendukung. Akhirnya, kemarin aku sudah mengutarakan niatku padanya.”
“ Dan akhirnya?” tanya Putri hati-hati
“ Dia menerimanya. “
Putri menatap wajah sahabatnya, dan dia tahu ada keseriusan disana. Sahabatnya itu tidak sedang bergurau, dan bagi Putri itu pertanda buruk. Ia meletakkan sendoknya, menyudahi makan. Kemudian meminta untuk pulang, mengaku kondisi badannya menurun. Sahabatnya mengiyakan karena menyaksikan wajah Putri yang berubah pucat, meski ia tidak tahu alasan sebenarnya dibalik ekspresi itu.
Putri langsung terduduk lesu setibanya di kamar. Pandangannya kosong kepada satu titik. Ia terus berusaha mencerna perkataan sahabatnya tadi, namun terus saja terbentuk satu kesimpulan. Sahabatnya itu akan menjadi milik orang lain. Dan hal itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mungkin harus menerima kenyataan bahwa ia mungkin tak bisa lagi memiliki waktu darinya sesuka hati, ia harus terima bahwa perasaan itu harus mulai dipupus kan. Dan ia tahu rasanya sulit untuk bisa berdiri didepan orang yang dicintai sementara dunia berkata kau harus pergi.
Ya iya harus pergi. Setidaknya untuk mencoba menata hati.
Putri lantas menekan tombol-tombol ponselnya, menghubungi salah seorang kawan lama yang baru-baru ini menghubunginya. Mengajaknya untuk sebuah pekerjaan dan ia rasa ia dapat menerimanya.
-II-
Seminggu setelah hari itu Putri sudah berada ditempat baru, memulai pekerjaannya yang baru. Sesekali dikala sepi ia berkhayal, mungkin sahabatnya itu tengah bingung ketika hari itu meja kerjanya kosong. Meja kerja milik mereka berdekatan sehingga sangat mudah bagi sahabatnya itu menyadari ketidakhadirannya. Kemudian pasti dia segera menekan nomor ponsel Putri yang ada di panggilan cepat nomor 1, namun mendapati nomor itu di sudah di blokir. Putri membayangkan wajah sahabatnya yang mulai bingung.
Kemudian dia pasti segera pergi ke ruangan atasan, bertanya mengapa Putri tidak hadir. Atasannya dengan wajah datar hanya berkata, bahwa Putri sudah mengundurkan diri sejak kemarin. Ia mengajukan sejak beberapa waktu yang lalu dan memintanya merahasiakan ini dari semua orang. Terbayang lagi olehnya bagaimana wajah sahabatnya ketika itu. Sahabatnya pasti kemudian bertanya bagaimana bisa seseorang dapat mengundurkan diri dari pekerjaan dalam waktu yang singkat juga alasan mengapa Putri pergi. Setelah mendapat penjelasan yang cukup, pasti sahabatnya itu terus-terusan menghubungi ponsel Putri dan mengirimkan banyak pesan ke e-mail nya. Terbayang lagi olehnya wajah sahabatnya yang mulai muram.
Putri sangat tahu bahwa semua khayalannya itu bisa menjadi kenyataan. Apalagi setelah melihat berapa banyak e-mail yang masuk dari sahabatnya itu selama beberapa hari setelah ia pergi. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu.
Ia mungkin sedih. Namun Ia berusaha tidak peduli.
Hingga suatu malam ia mendengarkan sebuah siaran radio. Seseorang menelpon dalam sebuah acara. Suaranya terdengar tepat seperti orang yang mabuk. Nadanya mendayu-dayu, ucapannya tidak terlafalkan dengan jelas. Sesekali terdengar suara batuk, sesekali terdengar suara tertawa. Penyiar radio pun mulai memutuskan untuk memutus sambungannya..
 “ Tunggu !” ucapnya. “ Maaf, maaf memang aku sedikit mabuk. Tapi aku serius, aku mencari seorang Putri, dia sahabatku. Siaran radio ini terdengar di semua tempat kan? Maka mungkin dia bisa dengar.”
Suaranya kini berubah lebih teratur. Putri kini tahu betul siapa yang ada disana,  siapa pemilik suara itu. Putri tahu betul ia merindukan suara itu, sangat-sangat rindu.
 “ Aku...” terdengar ia menghela nafas yang terdengar berat. “ Aku benar-benar merindukannya. Dia pergi begitu saja, bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.”
Kali ini suara itu berubah lirih.
 “ Dia harus tahu, rasanya hidupku berputar terbalik karena dia pergi. Banyak hal yang menjadi sulit dimengerti. Aku tidak tahu apa sekarang dia baik-baik saja, apakah dia sedang bahagia, atau sedang kesulitan. Aku sudah mencarinya kemana-mana, aku bertanya ke semua orang yang mungkin ada hubungannya tapi sampai sekarang tidak ada hasil.”
Kali ini Putri berusaha keras menahan air matanya jatuh. Penyiar radio menganggap ini cerita yang menarik meski mungkin diluar topik acara, ia pun dibiarkan terus berbicara.
“ Maka jika dia dengar, meski selama kita bersahabat aku belum pernah mengatakannya, aku ingin dia tahu, dia adalah orang yang berarti, yang mungkin posisinya tidak akan terganti oleh siapapun. Aku ingin bertemu dengan dia, meski Cuma diberi kesempatan satu kali.”
Penyiar radio kini mulai bertanya siapa nama penelpon ini. Namun ia malah berkata hendak muntah lalu memutus sambungannya. Putri lantas tertawa. Ia tahu sahabatnya tidak pernah kuat untuk minuman yang memabukkan, sehingga sekali ia minum, pasti mabuk keterlaluan.  Tapi ia tahu sahabatnya tidak pernah berbohong entah dalam keadaan sadar atau mabuk.
Sahabatnya benar, ia punya tempat tersendiri yang berarti dan takkan pernah terganti Ia punya peranan yang tidak akan bisa dimainkan oleh orang lain. Ia kini sadar rasanya bodoh karena telah berlari.
-II-
“Putri.”
Sebuah suara menghapuskan lamunannya. Ia kembali pada masa sekarang setelah beberapa waktu berputar-putar melihat yang telah lalu. Dari pantulan cermin dihadapannya, ia melihat sahabatnya kini berdiri tepat dibelakangnya.
“ Kamu tahu acara ini tidak akan dimulai kalau kamu tidak keluar.”
Putri tersenyum. “ Acara ini tidak akan mulai kalau jas mu ini tidak dipakai dengan benar.”
Ia sibuk merapihkan jas sahabatnya yang sedikit miring, mengibaskan tangannya agar tak ada satu pun debu yang menempel disana. Kemudian kedua tangannya diraih oleh laki-laki dihadapannya itu.
“ Berjanjilah untuk tidak pergi lagi.” ucap sahabatnya itu dengan pandangan yang lurus.
“ Hanya jika kamu berjanji untuk tidak mabuk lagi.”
Keduanya kemudian tertawa. Putri kembali melanjutkan pembicaraannya,
“ Kali ini sekalipun aku pergi lagi, kamu akan tahu aku dimana dan dan bisa menemuiku kapan saja. Kita akan bisa mengobrol lagi kapanpun kamu mau. Aku berjanji. ”
Putri merangkul sahabatnya itu, Matanya terpejam, merekam semuanya dengan sebaik-baiknya, selagi semuanya baik-baik saja. Pertanyaan yang sekejap lalu membelitnya kini sudah mantap ia jawab. Apakah dia siap menghadapi semuanya?
Hari setelah ia mendengar suara sahabatnya di Radio, Putri memutuskan untuk menemuinya lagi. Mendukungnya untuk segala hal yang akan terjadi. Kala itu sahabatnya tak banyak bertanya tentang alasan-alasan. Ia hanya berkata ia senang Putri kembali. Hari itu ia siap melepaskan segala perasaan yang mungkin tak dibutuhkan lagi, Hari itu ia siap melepas sahabatnya pergi.
“ Kurasa ini sudah waktunya. Ayo kita saksikan salah satu titik balik hidup sahabatku ini. Aku akan bersamamu sampai akhir.”
Putri pun keluar, mengantarkan sahabatnya ke tempat ia akan mengucap janji sehidup semati. Seperti janjinya ia berada diruangan itu sampai akhir, menyaksikan wajah bahagia sahabatnya sepanjang hari. Dan ia mengerti, inilah yang dinamakan bahagia, ketika orang yang kita cintai juga bahagia.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama